Skip to main content

Kisah Melanie Perkins, Sang Pendiri Canva

Kisah Melanie Perkins, Sang Pendiri Canva

Melanie Perkins. Ia adalah pendiri Canva, platform desain grafis yang kini digunakan oleh jutaan orang di seluruh dunia

Daftar isi
Baca Juga

Di dunia teknologi yang penuh dengan cerita sukses, ada satu nama yang mencuri perhatian karena perjalanan luar biasanya: Melanie Perkins. Ia adalah pendiri Canva, platform desain grafis yang kini digunakan oleh jutaan orang di seluruh dunia.

Saya sendiri adalah satu satu pengguna premium Canva yang selalu membuat berbagai video atau gambar caption untuk diri sendiri atau untuk orderan yang membutuhkan. Bahkan dengan akun premium, saya bisa berbagi akun dengan yang lainnya yang menjadi member saya.

Namun, di balik kesuksesan besar yang ia raih, tersimpan kisah perjuangan yang penuh dengan penolakan, kegigihan, dan tekad baja yang menginspirasikan banyak orang. Bagaimana seorang wanita muda dari Perth, Australia, berhasil mengubah ide sederhana menjadi perusahaan bernilai miliaran dolar? yuk baca kisahnya siapa tahu menginspari kalian semua terutama kaum mager hihihii

Kisah Melanie Perkins, Sang Pendiri Canva
Awal Mula: Ide dari Keresahan Seorang Mahasiswi

Melanie Perkins lahir pada 13 Mei 1987 di Perth, Australia Barat. Ia tumbuh dalam keluarga multikultural, dengan ayah seorang insinyur keturunan Malaysia-Filipina-Sri Lanka dan ibu seorang guru asal Australia.

Sejak kecil, Melanie sudah menunjukkan bakat kreatif dan semangat wirausaha. Di usia 14 tahun, ia mulai menjual syal buatan tangan di pasar lokal, sebuah langkah kecil yang menjadi cikal bakal jiwa entreprenurnya.

Namun, titik balik dalam hidupnya terjadi saat ia menjadi mahasiswi di University of Western Australia, mengambil jurusan komunikasi dan perdagangan.

Di sana, Melanie sering menjadi tutor bagi teman-temannya, mengajarkan cara menggunakan perangkat lunak desain seperti Adobe Photoshop dan InDesign.

Ia memperhatikan bahwa banyak mahasiswa, bahkan yang tidak memiliki latar belakang desain, kesulitan memahami antarmuka rumit dan fungsi kompleks dari perangkat lunak tersebut. Bagi Melanie, ini adalah masalah yang nyata — mengapa desain grafis harus begitu sulit dipelajari?

Keresahan ini membawanya pada sebuah ide: bagaimana jika ada alat desain yang sederhana, intuitif, dan bisa digunakan oleh siapa saja, bahkan tanpa keahlian teknis?

Bersama kekasihnya saat itu, Cliff Obrecht, Melanie mulai merancang solusi. Mereka ingin menciptakan sesuatu yang memungkinkan orang biasa—bukan hanya desainer profesional—untuk membuat karya visual yang menarik.

Langkah Pertama: Fusion Books

Ide Melanie dan Cliff pertama kali terwujud dalam bentuk Fusion Books, sebuah platform daring yang mereka luncurkan pada 2007. Fusion Books dirancang untuk membantu siswa sekolah membuat buku tahunan dengan mudah menggunakan templat yang sudah tersedia.

Mereka memulai bisnis ini dari ruang tamu ibu Melanie, dengan modal terbatas dan semangat besar. Melanie bahkan harus cuti dari kuliahnya—padahal ia sudah hampir lulus—untuk fokus mengembangkan proyek ini.

Fusion Books ternyata sukses di pasar lokal. Dalam waktu singkat, platform ini menjadi penerbit buku tahunan terbesar di Australia, bahkan merambah ke Prancis dan Selandia Baru.

Kesuksesan awal ini memberi Melanie dan Cliff kepercayaan diri untuk bermimpi lebih besar. Namun, mereka sadar bahwa ide mereka bisa berkembang menjadi sesuatu yang jauh lebih luas daripada sekadar buku tahunan sekolah. Dari sinilah cikal bakal Canva mulai terbentuk.

Rintangan Besar: Penolakan demi Penolakan

Meski Fusion Books menunjukkan potensi, langkah berikutnya tidaklah mudah. Untuk mewujudkan visi yang lebih besar—platform desain universal—Mereka membutuhkan pendanaan.

Melanie dan Cliff mulai mendekati investor, menyusun presentasi, dan mem pitching ide mereka ke berbagai pihak. Namun, kenyataan ternyata jauh dari harapan. Mereka ditolak lebih dari 100 kali oleh investor yang meragukan prospek bisnis desain grafis yang "terlalu sederhana" ini.

Setiap penolakan terasa menyakitkan. Melanie pernah mengatakan bahwa ia merasa terpukul setiap kali mendengar "tidak" dari investor. Banyak yang menganggap ide mereka tidak cukup besar atau tidak akan mampu bersaing dengan raksasa seperti Adobe.

Ditambah lagi, sebagai pengusaha muda dari Australia —bukan Silicon Valley— Mereka harus bekerja lebih keras untuk mendapatkan perhatian. Namun, alih-alih menyerah, Melanie memilih untuk belajar dari setiap kegagalan. Ia mendengarkan kritik, memperbaiki presentasinya, dan terus mencari cara untuk menyempurnakan visinya.

Salah satu momen krusial terjadi pada 2011, ketika Melanie mendapat kesempatan bertemu dengan Bill, seorang investor terkenal dari Silicon Valley, dalam sebuah kompetisi startup di Perth.

Melanie dan Cliff memanfaatkan acara tersebut untuk memperkenalkan ide mereka, yang saat itu disebut "Canvas Chef"—sebuah metafora tentang desain yang bisa disesuaikan seperti membuat pizza.

Meski Bill awalnya tampak tidak tertarik—bahkan sibuk dengan teleponnya selama presentasi—Mereka tidak patah semangat. Ternyata, di balik layar, Bill menghubungkan Melanie dengan jaringan investor dan profesional teknologi di San Francisco.

Perjalanan ke Silicon Valley dan Kelahiran Canva

Undangan untuk mengunjungi Silicon Valley menjadi titik balik. Melanie dan Cliff terbang ke Amerika Serikat, membawa harapan besar. Di sana, mereka bertemu dengan berbagai investor dan teknisi, termasuk Cameron Adams, mantan karyawan Google yang akhirnya bergabung sebagai salah satu pendiri Canva.

Setelah bertahun-tahun berjuang, kerja keras mereka membuahkan hasil. Pada 2012, Melanie berhasil mengamankan pendanaan awal sebesar US$3 juta dari investor ternama seperti Matrix Partners dan Interwest Partners.

Dengan modal ini, Melanie, Cliff, dan Cameron mulai membangun Canva dari nol. Mereka menghabiskan waktu berbulan-bulan untuk merancang platform yang simpel namun kuat, dengan fokus pada kemudahan penggunaan dan aksesibilitas.

Pada 1 Januari 2013, Canva resmi diluncurkan ke publik. Responnya luar biasa. Dalam waktu singkat, Canva menarik 50.000 pengguna. Setahun kemudian, jumlahnya melonjak menjadi 600.000, dengan lebih dari 3,5 juta desain dibuat di platform tersebut.

Kesuksesan Canva: Dari Startup ke Unicorn

Canva bukan sekadar alat desain; ia menjadi revolusi dalam cara orang berpikir tentang kreativitas. Dengan antarmuka yang ramah pengguna, ribuan templat gratis, dan fitur kolaborasi, Canva memungkinkan siapa saja—dari pelajar hingga pebisnis—untuk menciptakan desain profesional tanpa hambatan.

Platform ini juga terus berkembang, menambahkan fitur seperti dukungan untuk berbagai bahasa, termasuk bahasa yang ditulis dari kanan ke kiri seperti Arab, Ibrani, dan Urdu.

Kesuksesan Canva tidak berhenti di situ. Pada 2018, valuasi perusahaan mencapai US$1 miliar, menjadikannya salah satu "unicorn" pertama dari Australia.

Hingga kini, Canva telah digunakan oleh lebih dari 170 juta pengguna di 190 negara, termasuk 85% perusahaan Fortune 500. Kekayaan Melanie pun meroket. Menurut Forbes, ia memiliki kekayaan bersih sekitar US$5,8 miliar pada 2025, menjadikannya salah satu wanita terkaya di Australia.

Berapa rupiah tuh kalau dirupiahkan? Sekitar 89 triliun 900 miliar rupiah!

Namun, di balik semua pencapaian ini, Melanie tetap rendah hati. Ia tidak pernah menyelesaikan kuliahnya—statusnya sebagai dropout justru menjadi bagian dari cerita inspiratifnya.

Bersama Cliff, yang kini menjadi suaminya, Melanie juga berkomitmen untuk memberikan dampak positif. Mereka berjanji menyumbangkan sebagian besar kekayaan mereka untuk amal, dengan fokus membantu kaum dhuafa dan organisasi nirlaba.

Pelajaran dari Melanie Perkins

Kisah Melanie Perkins adalah bukti nyata bahwa kegigihan dan keyakinan pada visi bisa mengubah mimpi menjadi kenyataan. Ia menghadapi ratusan penolakan, namun tidak pernah menyerah.

Setiap "tidak" menjadi bahan bakar untuk memperbaiki diri dan melangkah lebih jauh. Ia juga menunjukkan bahwa kesuksesan tidak harus dimulai dari tempat yang glamor—dari ruang tamu ibunya di Perth, ia membawa Canva ke panggung dunia.

Bagi Melanie, Canva bukan sekadar bisnis; ini adalah misi untuk memberdayakan dunia dalam mendesain. “Kami ingin memastikan bahwa siapa pun, di mana pun, bisa menciptakan sesuatu yang indah,” katanya suatu kali.

Filosofi ini, ditambah dengan kerja keras dan ketahanan mental, adalah kunci yang membawanya dari seorang mahasiswi biasa menjadi salah satu pengusaha teknologi paling berpengaruh di dunia.

Hari ini, pada 28 Februari 2025, Canva terus tumbuh sebagai simbol inovasi dan inklusivitas. Melanie Perkins, wanita di balik layar, telah menginspirasi jutaan orang untuk tidak takut bermimpi besar, bahkan ketika dunia berkata "tidak."

Dari penolakan demi penolakan hingga kesuksesan yang fenomenal, perjalanan Melanie mengajarkan kita bahwa kegagalan hanyalah langkah menuju kemenangan—selama kita tidak berhenti melangkah.

Kisahnya adalah pengingat bahwa di balik setiap kesuksesan besar, ada kerja keras, ketekunan, dan semangat yang tak pernah padam. Melanie Perkins bukan hanya membangun Canva; ia membangun harapan bagi generasi muda bahwa dengan tekad dan visi, segala sesuatu mungkin terjadi.

Baca Juga...